Kalau kita ditanya, apa cita-cita kita sewaktu kecil? Hendak menjadi apa kita setelah besar nanti? Jawaban terbanyak adalah mungkin menjadi dokter, guru, tentara atau polisi.
Entah apa yang membuat opsi-opsi di atas dipilih secara otomatis oleh anak-anak. Apakah karena doktrin dari orang tuanya karena dengan menjadi dokter itu maka otomatis akan banyak harta (bukan hanya uang)? Atau memang keempat profesi di atas memang dianjurkan oleh orang tua kita karena merupakan profesi yang mulia?
Disadari atau tidak, kita sekolah hanya mengikuti arus saja. Hanya mengikuti kebanyakan orang, mengekor teman-teman kita atau kakak-kakak kita yang bersekolah. Pun begitu juga saat kita harus memilih universitas tujuan selepas SMA. Sohib kita memilih Kedokteran UI, begitu juga kita. Tanpa dasar argumen yang cukup kuat, misalnya kemampuan akademis yang mumpuni.
Ada juga sebagian orang yang memilih profesi karena (benar-benar) ingin bermanfaat bagi orang banyak. Demam film LA Laws dahulu sempat membuat saya berpikir untuk menjadi pengacara. Tentunya untuk membela kebenaran. Sempat lama juga bercita-cita untuk menjadi dokter karena sejak kecil selalu sakit-sakitan, merasa berhutang budi pada para dokter.
Ana Pascal, salah satu peran di film Stranger than Fiction (2006) pun begitu. Masuk Harvard Laws School karena ingin bermanfaat bagi orang banyak. Namun di satu saat, ia berhenti kuliah dan memilih untuk menjadi tukang kue. Sebuah pilihan yang aneh. Tapi, coba kita dengarkan alasannya,
“Satu saat ketika aku masih kuliah, kami memiliki sebuah sebuah kelompok belajar. Awalnya hanya sedikit orang yang menjadi anggota klub ini. Setiap kami berdiskusi, aku selalu membuat kue dan membagi-bagikannya secara gratis. Adanya cemilan berupa kue buatanku tersebut membuat kelompok diskusi ini menjadi maju dan semakin bertambah anggotanya. Aku pun semakin giat lagi untuk membuat kue dan mencoba menerapkan resep-resep terbaru. Aku merasa kue ku itu memberikan manfaat yang luar biasa besar bagi mereka. Akhirnya aku berhenti dari kuliah dan memilih untuk membuat kue“.
Kisah ini, bagi saya amat menarik dan menyentuh hati. Untuk berguna bagi orang lain, kita tidak perlu menjadi seorang super hero . Sekolah puluhan tahun hingga dianugrahi gelar profesor tidak serta-merta menjadikan kita orang yang bermanfaat. Belum tentu keberadaan kita menjadi manfaat bagi orang di sekitar kita. Bahkan bisa jadi, bapak-bapak penjual nasi goreng, kupat tahu, gorengan di sekitar kampus lebih mulia dari bapak-bapak dosen pengajar. Dagangan yang mereka jual dapat mengisi perut lapar mahasiswa yang telat bangun pagi. Membuat mereka dapat menghadiri kuliah tepat waktu dan mendengarkan pak dosen berceramah tanpa alunan keroncong musik dari perutnya.
So, sudah sejauh mana kita bermanfaat bagi orang lain? Sudah sampaikah kita pada cita-cita yang kita kejar? Sudahkah cita-cita itu berefek pada orang di sekitar kita?
Entah apa yang membuat opsi-opsi di atas dipilih secara otomatis oleh anak-anak. Apakah karena doktrin dari orang tuanya karena dengan menjadi dokter itu maka otomatis akan banyak harta (bukan hanya uang)? Atau memang keempat profesi di atas memang dianjurkan oleh orang tua kita karena merupakan profesi yang mulia?
Disadari atau tidak, kita sekolah hanya mengikuti arus saja. Hanya mengikuti kebanyakan orang, mengekor teman-teman kita atau kakak-kakak kita yang bersekolah. Pun begitu juga saat kita harus memilih universitas tujuan selepas SMA. Sohib kita memilih Kedokteran UI, begitu juga kita. Tanpa dasar argumen yang cukup kuat, misalnya kemampuan akademis yang mumpuni.
Ada juga sebagian orang yang memilih profesi karena (benar-benar) ingin bermanfaat bagi orang banyak. Demam film LA Laws dahulu sempat membuat saya berpikir untuk menjadi pengacara. Tentunya untuk membela kebenaran. Sempat lama juga bercita-cita untuk menjadi dokter karena sejak kecil selalu sakit-sakitan, merasa berhutang budi pada para dokter.
Ana Pascal, salah satu peran di film Stranger than Fiction (2006) pun begitu. Masuk Harvard Laws School karena ingin bermanfaat bagi orang banyak. Namun di satu saat, ia berhenti kuliah dan memilih untuk menjadi tukang kue. Sebuah pilihan yang aneh. Tapi, coba kita dengarkan alasannya,
“Satu saat ketika aku masih kuliah, kami memiliki sebuah sebuah kelompok belajar. Awalnya hanya sedikit orang yang menjadi anggota klub ini. Setiap kami berdiskusi, aku selalu membuat kue dan membagi-bagikannya secara gratis. Adanya cemilan berupa kue buatanku tersebut membuat kelompok diskusi ini menjadi maju dan semakin bertambah anggotanya. Aku pun semakin giat lagi untuk membuat kue dan mencoba menerapkan resep-resep terbaru. Aku merasa kue ku itu memberikan manfaat yang luar biasa besar bagi mereka. Akhirnya aku berhenti dari kuliah dan memilih untuk membuat kue“.
Kisah ini, bagi saya amat menarik dan menyentuh hati. Untuk berguna bagi orang lain, kita tidak perlu menjadi seorang super hero . Sekolah puluhan tahun hingga dianugrahi gelar profesor tidak serta-merta menjadikan kita orang yang bermanfaat. Belum tentu keberadaan kita menjadi manfaat bagi orang di sekitar kita. Bahkan bisa jadi, bapak-bapak penjual nasi goreng, kupat tahu, gorengan di sekitar kampus lebih mulia dari bapak-bapak dosen pengajar. Dagangan yang mereka jual dapat mengisi perut lapar mahasiswa yang telat bangun pagi. Membuat mereka dapat menghadiri kuliah tepat waktu dan mendengarkan pak dosen berceramah tanpa alunan keroncong musik dari perutnya.
So, sudah sejauh mana kita bermanfaat bagi orang lain? Sudah sampaikah kita pada cita-cita yang kita kejar? Sudahkah cita-cita itu berefek pada orang di sekitar kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar