Pendahuluan 
Proklamasi  kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah buah perjuangan yang telah  dilakukan para pendiri bangsa. Kemenangan yang diraih bukanlah milik  satu golongan saja, tetapi merupakan kemenangan dan kemerdekaan segenap  elemen bangsa. Para pendiri bangsa saat itu sudah berani mengambil resiko perjuangan yang akan mereka terima. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan berarti perjuangan telah selesai. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia akan mengalami fase perjuangan selanjutnya yakni upaya perebutan kekuasan dan pengakuan kedaulatan dari negara lain.
Indonesia  yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya tidak serta merta bebas dari  belenggu penjajah Jepang saat itu. Belum lagi masuknya kekuatan asing  lain yang masuk ke wilayah Indonesia. Masa perjuangan awal kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi diwarnai dengan berbagai pertempuran dan bentrokan antara pemuda-pemuda Indonesia  melawan aparat kekuasaan Jepang. Tujuannya adalah untuk merebut  kekuasaan dan memperoleh senjata. Di berbagai daerah terjadi  pertempuran. Pergolakan yang terjadi terus meletus tidak hanya di pusat  kekuasaan (Jakarta), tetapi  terus melebar dan meluas di berbagai daerah lannya yang tidak hanya  melawan penjajah Jepang, namun melakukan perlawanan kepada siapapun yang  menghalang-halangi kemerdekaan Indonesia.[1]
Rapat Raksasa di Lapangan Ikada
Para pemuda yang dipelopori oleh Komite van Aksi Menteng 31[2] merencanakan pengerahan massa  yang untuk pertama kali mempertemukan pemimpin RI (setelah proklamasi)  dengan rakyatnya. Pertemuan itu dimaksudkan untuk membuktikan dukungan  rakyat terhadap pemimpinnya serta sebagai upaya awal pengakuan  kedaulatan dan harga diri Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Cara yang dilakukan pemuda itu adalah dengan mempersiapkan pengerahan massa  dan menyampaikan rencana tersebut kepada presiden. Pada intinya,  pemerintah tidak mempermasalahkan pelaksaan acar tersebut. Akan tetapi  yang ditakutkan adalah respon penjajah Jepang saat itu. Jika acar  tersebut dilakukan, pemerintah mengkhawatirkan akan terjadinya bentrokan  antara aparat Jepang dengan massa  aksi. Untuk mengantisipasi masalah tersebut, pemerintah mengadakan  sidang kabinet yang diadakan di kediaman presiden pada 19 September.  Rapat itu berlangsung hingga dinihari dan dilanjutkan lagi pagi harinya  di Lapangan Banteng Barat. Pembicaraan tersebut juga dihadiri oleh para  pemimpin pemuda.[3] Para pemuda bersikeras agar acara tersebut tetap diadakan karena massa  sudah berbondong-bondong menghadiri Lapangan Ikada untuk mendengarkan  pidato dari pemimpinnya. Situasi tegang terjadi saat itu karena  penjagaan ketat dari aparat bersenjata Jepang. Selain itu, massa  aksi banyak yang membawa senjata tajam. Acara tetap dilakukan dengan  pidato Bung Karno. Dalam pidatonya, Bung Karno meminta kepercayaan dan  dukungan rakyat kepada Pemerintah. Ia mengharapkan rakyat dapat mematuhi  perintah dan disiplin. Setelah acara selesai, massa diperintahkan untuk membubarkan diri dengan tenaang. Perintah itu akhirnya ditaati oelh massa  yang meninggalkan rapat raksasa dengan tertib tanpa kerusuhan. Walaupun  pidato Bung Karno berlangsung sangat singkat, namun berhasil  mempertemukan Pemerintah Republik Indonesia dengan rakyatnya. Rapat raksasa 19 September 1945 adalah momen pertama yang menunjukkan kewibawaan Pemerintah Republik Indonesia terhadap rakyatnya.
Perebutan kekuasaan di beberapa daerah
Semangat revolusioner kemerdekaan bukan hanya terjadi di Jakarta yang notabene adalah pusat kekusaan Republik Indonesia.  Di berbagai daerah juga terjadi hal demikian. Perebutan kekuasaan di  beberapa daerah bahkan terjadi bentrokan fisik dan konfrontasi senjata. 
Di  Yogyakarta terjadi aksi pemohokan pegawai perusahaan-perusahaan yang  dikuasai oleh Jepang. Perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada  tanggal 26 September 1945 sejak pukul 10 pagi. Massa memaksa orang-orang  Jepang untuk menyerahkan semua kantor perusahaan mereka kepada  Indonesia. Sehari setelah itu, pada tanggal 27 September 1945, Komite  Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di  daerah itu telah berada di tangan Republik Indonesia.[4]
Di Bandung, dilakukan upaya merebut pangkalan Udara Andir dan pabrik senjata bekas ACW (Artillerie Constructie Winkel). Upaya tersebut berlangsung hingga kedatangan pasukan Serikat di Bandung pada tanggal 17 Oktober 1945.
Di  Banda Aceh, para pemuda dan tokoh masyarakat membentuk Angkatan Pemuda  Indonesia (API) pada tanggal 6 Oktober 1945. Namun pada tanggal 12  Oktober 1945, Jepang memanggil para pemimpin gerakan itu untuk dan  menyatakan bahwa walaupun Jepang telah kalah, semua kegiatan pendirian  organisasi dan perkumpulan harus meminta izin kepada Jepang. Bila  hal itu tidak dilakukan maka perkumpulan itu akan dibubarkan. Hal itu  memicu pertentangan dari para pemuda dan masyaraat. Akhirnya perlawanan  mereka meluas dengan dilakukannya perebutan kantor-kantor Jepang dan  pelucutan senjata militer Jepang.[5]
Secara  umum, perlawanan terjadi di berbagai daerah lainnya seperti di Bali,  Sumatera Selatan, Gorontalo, Kalimantan, Sulawesi Utara, dll. semua  perlawanan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melakukan perebutan  kekuasaan Indonesia terhadap pemerintah kolonial.[6] Rakyat  Indonesia telah lama merindukan kemerdekaan dari segala bentuk  penindasan dan penderitaan. Dan sudah saatnya mereka mendapatkan hak  kemerdekaan yang telah mereka idam-idamkan.
Pertempuran Surabaya
Surabaya sebelum perang memang sudah menyimpan kerawanan konflik yang besar. Di kota ini banyak berdiri Laskar rakyat dan BKR[7]  yang sangat bersemangat dalam rangka kemerdekaan Indonesia dan usaha  untuk mempertahankannya. Ketegangan di Surabaya semakin meningkat dengan  pendaratan Sekutu yang mempunyai agenda untuk mempertahankan status  quo. Dengan adanya tentara Sekutu maka perang adalah suatu hal yang  tidak terelakan. 
            Berawal  dari tewasnya Brigjen Mallaby yang mengakibatkan Mayjen Mansergh  mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya yang menyatakan agar  rakyat Surabaya datang ketempat yang telah ditentukan selambat-lambatnya  tanggal 9 November 1945 pukul 18.00 dengan membawa bendera putih dan  senjata. Apabila tidak dipenuhi maka pasukan Inggris akan menggunakan  kekuasaan angkatan laut, udara, dan darat.  
Apa  yang diperhitungkan oleh pihak TKR betul-betul terjadi pada tanggal 10  November 1945 pagi hari sekali, pesawat-pesawat tempur Sekutu  melayang-layang di udara kota Surabaya. Suara-suara ledakan terdengar  keras sekali di bagian utara kota Surabaya. Sudah dapat dipastikan bahwa  tentara Sekutu benar-benar memenuhi bunyi ultimatumnya dengan  mengerahkan segenap angkatan perangnya untuk menghancurkan Surabaya.  Tembakan-tembakan dari darat, laut, maupun udara menggempur kota tiada  henti-hentinya. Namun rakyat, TKR, dan seluruh badan perjuangan  bersenjata telah bersatu padu untuk mempertahankan kota Surabaya dari  gempuran balasan tentara Inggris. Maka pecahlah perang antara pasukan  TKR bersama laskar rakyat melawan pasukan Inggris. Perang ini lebih  dikenal dengan “Perang 10 November 1945”. 
            Pasukan  TKR menerapkan stategi yang telah direncanakan, yaitu mempertahankan  kota Surabaya dengan tidak memberikan kesempatan pasukan Inggris untuk  menguasai tiap-tiap jalan atau pun gedung-gedung. Hampir setiap sudut  kota Surabaya telah dipertahankan oleh pasukan TKR dengan mati-matian. 
            Sebetulnya  taktik yang direncanakan dalam melawan pasukan Inggris dengan  melaksanakan perang kota telah dilakukan dengan sempurna oleh pasukan  TKR dan laskar rakyat Surabaya. Tetapi ada yang diluar perhitungan,  jumlah pasukan Inggris berlipat ganda dan jauh lebih besar daripada  ketika dikomandoi oleh Brigjen Mallaby, bahkan taktiknya berubah sama  sekali. 
            Dulu  sewaktu Mallaby sebagai komandannya, pemusatan-pemusatan pasukan  Inggris lebih banyak terlihat, karena mereka berangapan bahwa kekuatan  TKR dan laskar rakyat sangat kecil. Perhitungan yang meleset itu  menimbulkan dampak kehancuran bagi pasukan Inggris. Mereka  terpotong-potong dan berada jauh dari logistiknya. 
            Berbeda  dengan strategi yang dilaksanakan oleh Mansergh, yang mungkin telah  mempelajari kekuatan dan kelemahan pasukan dan laskar rakyat, maka di  samping menambah pasukan tempurnya yang berlipat ganda, ia juga lebih  mengutamakan gerakan serentak secara total yang dibantu oleh segenap  angkatan perangnya dan kemudian menjepit serta terus menggiring pasukan  TKR ke arah luar kota agar tujuan utamanya menguasai kota Surabaya  secara menyeluruh berhasil. 
Rupanya  pasukan TKR dan laskar rakyat masih menggunakan pola pertempuran lama,  yaitu tetap bertujuan mengepung dan mengisolir, kemudian memutuskan  hubungan dengan pasukan indukya kemudian baru menghancurkannya. Tetapi  semua gerakan pasukan TKR dan laskar rakyat itu selalu tidak berhasil  dan bahkan menimbulkan korban yang sangat besar. hal itu disebabkan  karena gerakan pasukan Inggris selalu berlapis-lapis susunannya dan  majunya selalu dibarengi oleh kekuatan lapis baja yang dibantu pula oleh  serangan pesawat udaranya. 
            Melihat  perkembangan pasukan TKR dan laskar rakyat yang sangat memprihatinkan,  dan jumlah korban yang semakin besar, maka satu-satunya jalan yang harus  ditempuh oleh mayjen Jonosewojo selaku komandan Divisi Surabaya, ialah  segera memerintahkan seluruh pasukannya untuk segera mengundurkan diri  ke daerah pinggiran kota Surabaya. Kecuali itu strategi untuk mengepung  seluruh pasukan Inggris diubah, tidak lagi mengepung pemusatan-pemusatan  pasukan Inggris lagi karena kekuatan mereka berlapi-lapis jumlahnya,  karena itu dilakukan strategi yang kedua, yaitu mengepung kota Surabaya  dengan melakukan perang gerilya sebagai lanjutan dari strategi perang  kota yang boleh dikatakan gagal total. 
            Untuk  mengadakan hubungan dan koordinasi antar pasukan yang banyak terpukul  oleh gerakan pasukan Inggris sangatlah tidak mudah. Banyak kesulitan  yang dialami, karena untuk mencari induk pasukan yang sudah berpisah  dengan anak pasukannya kadang-kadang memerlukan waktu lama dan terpaksa  harus menerobos jepitan-jepitan yang telah dilakukan oleh pasukan  Inggris. 
            Akhirnya  setelah pasukan TKR dan laskar pemuda Surabaya bertempur melawan  pasukan Inggris yang ternyata didalamnya ikut pula pasuka NICA yang  telah dilatih di Amerika Serikat, yang memakan waktu lebih dari tiga  minggu, berhasil mengadakan konsolidasi kembali dan mempertahankan kota  Surabaya dari pinggiran kota saja. 
            Dengan  datangnya pasukan dari utara maka kekuatan Batalion Bambang Joewono,  Batalion Darmosoegondo, Batalion Sawunggaling, Batalion Moh. Isa Edris  dan laskar rakyat yang ditugaskan untuk menahan laju pasukan Inggris  dengan batas Sungai Sepanjang dan Sungai Wonokromo akhirnya menjadi  semakin kuat. 
            Setelah  pasukan TKR mengadakan pertempuran tanpa henti untuk memertahankan kota  Surabaya selama lebih dari tiga minggu, akhirnya terpaksa harus mundur  dari dalam kota belum menurun, tetapi posisi berbalik menjadi pihak yang  selalu diserang oleh Sekutu. Pertempuran-pertempuran di pinggiran kota  pun makin hebat dan meluas hinga akhirnya perang yang bersifat frontal  menjadi perang gerilya. 
Pertempuran Ambarawa
Pertempuran  yang terjadi antar pasukan TKR dan pemuda melawan pasukan Inggris ini  berlangsung sejak tanggal 20 November 1945 sampai 15 Desember 1945.  Pertempuran ini dipicu oleh pelangaran kesepakatan pihak tentara serikat  dalam perjanjian dengan pihak TKR. Peristiwa itu berawal saat pasukan  serikat yang masuk ke wilayah RI diperkenankan mengurus para tawanan  perang. Namun yang dilakukanya justru mempersenjatai para tawanan perang  tersebut. Setelah itu terjadi berbagai insiden yang terus meluas. Pada  tangal 20 November 1945 di Ambarawa meletus pertempuran antara (di bawah  pimpinan Mayor Sumarto) melawan pasuka serikat. Pihak serikat  memperkuat pasukan mereka dengan mendatangkan personil ke Ambarawa.  Pertempuran dalam kota terjadi pada tanggal 22 November 1945. Bantuan  pasukan juga berdatangan ke lokasi pertempuran anatar lain batalyon 10  Divisi III, Batalyon 8, dll. Strategi yang dilakukan pasukan TKR  berhasil mengepung musuh. Namun musuh melakukan sebuah strategi  melambung yang mengancam kedudukan pasukan TKR. Semua elemen berdatangan  seperti batalyon dari Yogyakarta, batalyon Polisis Istimewa, dll.  mereka dapat menahan musuh sampai ke desa Jambu. Di desa Jambu mereka  membentuk suatu komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran.  Sejak saat itu medan Ambarawa dibagi menjadi empat sector dan  koordinasi semua elemen berjalan sesuai koordinasi sehingga pasukan  Indonesia semakin kuat. Kekuatan yang ikut bertempur saat itu terdiri  dari 19 batalyon TKR dan beberapa batalyon badan perjuangan. Lama  kelamaan kedudukan musuh semakin terjepit. Dan akhirnya pada tanggal 15  Desember 1945, musuh mulai meninggalkan kota Ambarawa
Penutup
Proklamasi  adalah puncak perjuangan yang dilakukan oleh para pendiri bangsa. Pada  hakikatnya, proklamasi adalah symbol terlepasnya segala belengu  penjajahan yang telah lama dirasakan. Akan tetapi, setelah proklamasi  bukan berarti Indonesia lepas dari segala permasalahan. Perjuangan awal  kemerdekaan setelah proklamasi justru menjadi batu ujian sejauh mana  perjuangan dan kesadaran berbangsa dari setiap rakyat. Ujian yang  diterima Indonesia begitu besar. Rakyat dengan militansinya terus  menerus melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Perebutan kekuasan  yang berakibat pada meletusnya berbagai pertempuran menjadi gambaran  bahwa rintangan yang dihadapi Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat  begitu berat.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, A.M. Menteng 31 Membangun Jembatan Dua Angkatan. Jakarta: Sinar Harapan, 1997.
Kahin, George McTurnan. Nasinalisme dan Revolusi di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1995.
Notosusanto dkk. Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Reid, Anthony J.S. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1996.
Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia (1945—1967).. Jakarta: LP3ES, 1986.
* Setelah Jepang mengalami kekalahan, pasukan Serikat yang juga dimanfaatkan oleh Belanda di dalamnya mencoba memasuki Indonesia  untuk memulihkan keadaan dan mengambil alih kekusaan kolonial Jepang.  Secepatnya pasukan serikat/sekutu memasuki berbagai wilayah Indonesia. Selengkapnya baca Anthony J.S.Reid, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1996. hlm. 179-210.
* Komite van Aksi Menteng 31 adalah wadah perkumpulan pemuda yang  bertempat di Jln. Menteng 31. Kelompok ini adalah salah satu otak dari  peristiwa Rengasdengklok. Untuk lebih jelasnya baca A.M. Hanafi, Menteng 31: Membangun Jembatan Dua Angkatan, Jakarta: Sinar Harapan, 1997.
* Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, hlm. 101
* Pertempuran  yang tak menentu antara orang Jepang dan Indonesia makin sering terjadi  dan makin meluas di berbagai daerah. Lebih lengkap baca George McTurnan  Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Jakarta: Sinar Harapan, 1995.
 
backgroundnya nyeremin kak jadi gak fokus baca hehe
BalasHapusResponnya kok gak jelas yaa
BalasHapus