Sore itu, keduanya nampak menikmati suasana hari kala dibasahi oleh tetesan-tetesan bening dari kelabunya langit. Sejuk. Damai. Santai. Keduanya menikmati saat itu.
Membisu, seolah tak mampu berucap. Namun mata keduanya tampak ingin mengatakan sesuatu. Sesuatu tentang ini.
Lelaki itu mulai membuka perbincangan diantara mereka berdua tentang ini.
“Kamu percaya akan suatu hal yang abadi?”, tanyanya.
Perempuan itu terdiam, nampak berpikir terhadap pertanyaan dari kekasihnya tersebut.
“Aku percaya, memang ada hal yang abadi”, jawabnya.
“Bisa kau berikan contohnya?”, tanya kekasihnya kembali.
“Dari bagian terdekatmu saja, keluarga, contohnya. Kasih sayang mereka begitu tulus, putih, bersih dan tanpa pamrih, serta abadi, kurasa”, jawabnya, matanya sambil menerawang jauh seolah sedang membayangkan sesuatu.
“Sekalipun banyak kasus yang mengatakan begitu banyak orang tua yang rela menggugurkan kandungannya atau pun meninggalkan anaknya, bahkan ada yang sampai menyiksa anak mereka, namun entah bagaimana, kurasa jauh dalam lubuk hati mereka, mereka sebenarnya kehilangan yang sangat dengan perlakuannya terhadap darah dagingnya itu sendiri, entah hal itu selalu dirasakan tiap saat ataupun hanya dirasakan sekali seumur hidupnya. Tapi menurutku rasa itu merupakan rasa abadi.”, lanjutnya.
Lelaki itu lalu mengubah posisi duduknya menghadap pada perempuannya, dari posisinya yang semula hanya menatap jauh ke depan, sikap yang sama yang awalnya dilakukan oleh perempuannya itu.
Dia menatap perempuannya itu. Sementara perempuannya masih menatap jauh ke depan. Kosong. Matanya kini kosong.
“Aku……”, lelaki itu mencoba mengatakan sesuatu.
“Tentang keabadian, apa hal yang kita jalani sekarang akan berujung pada jalan keabadian itu?”, lanjut lelaki tersebut.
Tidak ada jawaban.
“Jika aku memberikan cinta yang sepenuhnya padamu……”, lelaki itu kembali berbicara. Kali ini matanya menatap lekat mata perempuannya itu.
“Sepenuhnya dariku padamu, apa itu akan berlangsung terus-menerus dan membawa pada keabadian?”, tanyanya kembali.
Entah pertanyaan itu sebenarnya ditujukan pada perempuannya atau pada dirinya sendiri.
Diam. Perempuan itu masih terdiam.
“Bagaimana menurutmu?, tanyanya kembali.
Perempuannya menghela nafas, ia berpaling dari pandangannya dan menatap lekat pada mata kekasihnya tersebut. Keduanya terdiam, masing-masing menatap lekat pada wajah di depannya.
“Menurutku keabadian bukanlah hal yang dapat dinilai orang lain dengan sudut pandang yang sama, tergantung bagaimana orang itu hendak berpikir dan tergantung bagaimana orang itu merasakannya……”, jawab perempuannya. Namun belum selesai ia berbicara,
“Tapi seperti yang aku katakan, aku mencoba menanyakan padamu, berarti secara otomatis itu sesuai dengan sudut pandang, pikiranmu, dan yang kau rasakan”, kekasihnya telah memotong jawaban dari perempuannya.
“Aku belum selesai bicara, tunggulah untuk berkomentar, jangan potong kalimatku”, jelasnya. Namun tak ada rasa emosi antara mereka.
“Dari sudut pandang yang sama mengartikan bahwa makna dari keabadian itu telah memiliki konsep yang sama, dari konsep yang sama itu juga mengartikan pemikiran yang sama dari orang yang hendak menilai suatu hal akan abadi atau tidak, sedangkan bagaimana orang itu merasakan……..”
Ia berhenti sebentar, lalu menatap kekasihnya lebih dalam.
“Itu merupakan hal yang bersifat subjektif, tidak ada yang berhak untuk mengadili tentang apa yang dirasakan seseorang”.
“Keabadian menurut sudut pandangku adalah konsep mengenai kesungguhan, yang membuat orang mampu berpikir bahwa hal yang dilihat maupun yang dirasakannya adalah nyata, tanpa rekayasa, yang akhirnya menimbulkan pendapat bahwa apa yang dirasakan adalah benar-benar abadi”. jelas perempuannya.
Lelaki itu tampak sedang mencerna jawaban dari perempuannya tersebut.
“Cukup rumit, bisa kau jelaskan contoh pengaplikasiannya dalam hubungan kita?”. tanyanya dengan raut muka yang bingung.
Hujan masih turun. Tidak terlalu deras, namun juga tidak dapat dikatakan rintik.
Perempuannya merunduk sesaat. Lalu ia mendongak dan mencoba menjawab pertanyaan kekasihnya itu. Tatapan matanya lembut, menunjukkan betapa ia menyayangi kekasihnya itu.
“Bagiku, yang tahu akan keabadian dari semua hal ini, terlebih pada persaanmu padaku, yang bisa menjawab hanyalah dirimu sendiri, karena kamu yang lebih memahami tentang perasaanmu sendiri….”
“Lalu mengenai hubungan kita apa akan membawa pada keabadian, itu tergantung pada sudut apa kita melihat. Kalau kita melihat dalam sudut waktu kita menjalin, hanya Dia dan waktu yang bisa menjawabnya. Sedangkan kalau kita melihat dari sudut pandang perasaan masing-masing, hanya diri masing-masing pula yang dapat menjawabnya”.
“Perasaan masing-masing, pendapat masing-masing, bahwa apa yang aku dan kamu rasakan saat ini mengenai rasa sayang akan selalu ada atau tidak, berkenan atau tidak jika aku dan kamu membawa pikiran masing-masing bahwa ini adalah abadi” terang perempuannya lagi.
“Menurutmu apakah penting persamaan konsep mengenai keabadian untuk kita supaya mempunyai gambaran yang jelas?”, tanya kekasihnya. Ia kini memandang wajah perempuannya dengan raut muka yang serius.
“Jika aku sudah memberikan cintaku sepenuhnya padamu dan aku berniat untuk membawa hal ini pada keabadian, namun nyatanya konsep kita mengenai keabadian itu berbeda, bukankah itu percuma atau bahkan dapat mengundang perselisihan di antara kita?”, tanyanya sambil menggenggam tangan perempuannya itu.
Perempuan itu diam. Dia menatap lama wajah kekasihnya. Lalu sekilas membelai wajah kekasihnya tersebut. Dia pun menjawab:
“Kamu tidak perlu memberikan cintamu yang sepenuhnya padaku……”, jawab perempuan itu.
“Karena aku tidak memerlukan cinta sepenuhnya darimu jika hanya sesaat kau berikan padaku,
Karena aku tak memerlukan cinta sepenuhnya darimu, jika hanya berisi air keegoisan semata, kepemilikan mutlak atau bahkan pemaksaan kehendak, baik darimu maupun dariku,
Karena aku tak memerlukan cinta sepenuhnya darimu, jika tanpa terselimuti kesungguhan yang berkawan kejujuran serta bertahtakan kesetiaan,
Karena aku tidak memerlukan cinta sepenuhnya darimu, jika hanya sebuah ucapan ataupun wacana, tanpa tindakan, tanpa perbuatan, hanya ungkaian kata indah namun berteman perih pada jejak yang nantinya ditinggalkan…..”
Perempuan itu berhenti bicara, ia mencoba melihat ekspresi wajah dari kekasihnya. Namun kekasihnya hanya terus menatap lekat pada perempuannya dan berkata:
“Lanjutkan, sepertinya omonganmu belum selesai”, jawabnya lembut sambil membelai rambut perempuannya itu.
“Aku hanya ingin cinta yang seharusnya, sesuai dengan pola ucapannya dan mengikuti alur janjinya, tidak berlebihan, tidak berkekurangan, namun pas pada cinta yang seharusnya, yang selalu tersadar pada bisikan impian dan bersama untuk mewujudkannya. Mewujudkan impian-impian tersebut.
Perempuan itu melihat kekasihnya menganggukkan kepalanya.
“yang perlu kau ketahui…..”, lanjut perempuannya.
“Aku tak memerlukan, benar-benar tak memerlukan cinta yang sepenuhnya darimu, jika nyatanya masih tersisa bagi asam dan lula, maupun bagi asam dan penad lain di keesokan harinya”
“Aku telah meninggalkan berkas asam dan lula padaku, dan kalau kau mampu meyakiniku, aku juga tak akan tergoda pada asam dan penad lain di keesokan harinya”
Lelaki itu mengerti apa yang dibicarakan perempuannya dan ia pun tersenyum.
“Cukup berikan padaku janjimu tentang kasih, dan akan aku serahkan janjiku padamu tentang asmara”
Mata lelaki itu teduh menatap mata perempuannya seolah ingin berjanji tentang satu hal. Namun sebelum lelaki itu sempat berkata, perempuannya yang seolah dapat mengetahui apa yang hendak dikatakan kekasihnya itu kembali berkata:
“Dan untukku serta untukmu, tak usah banyak berucap dan tak usah banyak berjanji, hanya lakukan dan jalani, hingga sampai pada putusanNya tentang cerita ini”.
Hujan tampak sudah mulai mereda, tidak lagi deras, seolah berkejaran hendak menapaki bumi, kini iramanya mulai teratur. Tidak lagi tergesa-gesa namun sudah mengikuti iramanya yang baru, irama menuju pelangi.
“Aku mengerti, masalah tentang keabadian itu, biarkan Dia dan waktu yang akan menjawab, yang terpenting kini adalah sikap kita untuk menuju hal tersebut. Keabadian pada pikiran dan rasa kita masing-masing”, jawab kekasihnya pada perempuan itu. Ia tersenyum sungguh hangat.
Perempuannya mengangguk dan nenyandarkan kepalanya di pundak kekasihnya tersebut. Kekasihnya membelai rambut perempuan itu lalu mengecupnya dengan lembut.
Hujan sore itu sudah berhenti, pelangi yang terlihat malu-malu kini telah menampakkan wajahnya dan menunjukkan pesonanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar